Setelah menapaki 500 meter anak tangga yang terbuat dari batu sungai. Terlihatlah sebuah meunasah yang berdiri kokoh, hembusan angin pergunungan yang begitu lembut menyapa wajah bagai mengucapkan selamat datang. Suara aliran air sungai Cipicung-pun seakan ingin memulai cerita bahwa ia juga tahu siapa sosok yang akan kami ziarahi dua tahun silam. Gunung Puyuh adalah alam yang masih begitu asri, untuk mencapainya memerlukan waktu hingga 2-3 jam perjalanan dari kota Bandung. Jalan yang dilalui bukanlah seperti rute Banda Aceh menuju Sigli dengan melewati Gunung Seulawah. Jalan disana lebih sempit, dan kemacetan dari dua arahpun tak dapat dihindari. Penjual jajanan, mochi-mochi, tahu sumedang, topeng monyet, pengamen menemani sepanjang jalan. Tak bisa dibayangkan bagaimana keadaan daerah tersebut 108 tahun silam, ketika Tjoet Nja’ Dhien ku diasingkan oleh kaphee Beulanda.
Setelah 20 meter kami melewati
komplek pemakaman keluarga leluhur Sumedang, kami memutar arah kembali menuju
alun-alun dan menanyakan alamat pasti kepada beberapa orang yang berada di Mesjid
Agung karena pamphlet penunjuk arah ke makam Ibu Perbu atau Ibu Ratu (begitu
Tjoet Nja’ Dhien dijuluki di ranah sunda) sering dirusak oleh orang yang tak
dikenal, entah apa alasannya. Rumah makan khas Aceh yang tepat di pintu gerbang
komplek makam bisa dijadikan tanda tiba dilokasi. Setiap ada pengunjung yang
menuju ke mk dakam Ibu Perbu berdirilah berjajar para pengemis sepanjang 500 meter
anak tangga, demikian ungkap Rd.Dadan juru kunci makam.
Sumedang menjadi rumah ke dua Tjoet
Nja’ Dhien setelah panglimanya Teuku Pang Laot memberitahu Belanda letak markas beliau dengan
syarat Tjoet Nja’ Dhien tidak akan dibunuh atau dibuang dari Tanoeh Rincong,
itu dilakukan sebab Pang Laot iba dengan keadaan Tjoet Nja’ Dhien yang saban
hari terus merasakan sakit dan juga mulai rabun. Setelah Tjoet Nja’ Dhien
ditangkap pada tanggal 6 november 1905 dan diobati oleh dokter Belanda di
Banda, tanpa senjata Tjoet Nja’ Dhien seakan masih berperang, semangat rakyat
semakin bertambah kuat melawan penjajahan dan ini dianggap berbahaya oleh
Belanda sehingga merekapun dengan mudah mengingkari janji yang telah disepakati
dengan Pang Laot.
11 desember 1906 Tjoet Nja’ Dhien
diasingkan ke Sumedang. Belanda memerintahkan Bupati Sumedang Pangeran Aria
Suriatmaja untuk mengurung Tjoet Nja’ Dhien di penjara, namun beliau tidak
mentaati perintah tersebut dan menyerahkan Tjoet Nja’ Dhien untuk dirawat di
rumah H. Sanusi seorang ulama mesjid Agung Sumedang, namun karena rumah beliau
sedang dalam perbaikan Tjoet Nja’ Dhien dititipkan 2-3 minggu di rumah H. Ilyas,
lalu kembali tinggal di rumah H. Sanusi hingga meninggal dunia.
H. Sanusi hanya satu tahun merawat
Tjoet Nja’ Dhien karena beliau terlebih dahulu meninggal dunia, lalu anak
beliau H. Husna melanjutkan tugas ayahnya. Selama di Sumedang, Ibu Ratu memberi
pengajian kepada warga khususnya ibu-ibu. Siti Hodijah anak H. Husna adalah
penerjemah ketika Tjoet Nja’ Dhien mengajar karena beliau menggunakan Bahasa
Arab dan selama disana Ibu Ratu hanya berkomunikasi dengan Siti Hodijah, H.
Husna dan K.H Sanusi dengan menggunakan Bahasa Arab saja, demikian kisah
tersebut terus diulang oleh Rd.Dadan setiap ada pengunjung yang datang
berziarah.
Segala keperluan Tjoet Nja’ Dhien
disana hingga beliau wafat pada tanggal 6 november 1908 begitu diperhatikan
oleh pangeran Aria Suriatmaja karena Tjoet Nja’ Dhien tidak pernah mau menerima segala pemberian
Belanda. Tjoet Nja’ Dhien dimakamkan dilokasi pemakaman keluarga H. Husna di
Gunung Puyuh, Ds. Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Setiap pagi tercium
aroma wewangian dari arah makam Ibu Ratu, akui seorang anak kecil yang kami
temui di sebuah kios di kaki bukit.
Tjoet Nja’ Dhien binti Teuku Nanta
Setia adalah pahlawan wanita dari Aceh Barat yang lahir pada tahun 1848. Suami pertama
beliau bernama Teuku Ibrahim bin Teuku Abas Ujong Aron dan dikarunia seorang
anak perempuan bernama Cut Gambang yang menikah dengan Teuku Mayet Ditiro,
keduanya gugur ditembak oleh Belanda secara Bersamaan. Tjoet Nja’ Dhien menikah
lagi dengan panglima perangnya Teuku Umar Johan Pahlawan yang kemudian gugur
pada tanggak 11 februari 1899 di Ujong Kala Meulaboh.
Rumah tempat Tjoet Nja’ Dhien
dirawat berukuran 12x14 meter, tinggi 1 meter, kamar tidur beliau berukuran 2x2
meter, dan ranjang besinya berukuran 2x2 meter yang telah dipugar tahun 1979
tepat di belakang Mesjid Agung Sumedang. Pada tahun 1972, makam Tjoet Nja’
Dhien direnovasi oleh Pemerintah daerah Sumedang dan kembali direnovasi oleh
Menteri Bulog bapak Bustanul Arifin bersamaan dengan didirikan Meunasah yang diresmikan oleh Gubernur
Aceh bapak Ibrahim Hasan pada tahun 1987. Lalu pada tahun 2008, KAMAS (Keluarga
Masyarakat Aceh Sumedang) bekerjasama dengan pemerintah daerah Sumedang
merenovasi jalan ke makam dan sarana umum lainnya.
Ibu Ratu, begitulah nama beliau
disebut dengan bangga di tanah itu. Seorang wanita anggun, beragama, cerdas,
dan berpengetahuan luas tidak pernah berhenti berjuang hingga tutup usia.
Ketika beliau diasingkan dari tanah tercintanya, tak mungkin lagi menghujam
rencong ke arah penjajah, dan tak bisa lagi berbagi strategi membebaskan Nanggroe dari cengkraman penjajahan,
namun beliau tetap berjuang dengan cara yang berbeda berbagi ilmu membebaskan
rakyat yang dicintainya dari cengkraman kebodohan. Tjoet Nja’ Dhien ku, Ibu Ratu di Ranah Sunda.