Thursday, January 1, 2015

Tjoet Nja’ Dhien ku, Ibu Ratu di Ranah Sunda



Setelah menapaki 500 meter anak tangga yang terbuat dari batu sungai. Terlihatlah sebuah meunasah yang berdiri kokoh, hembusan angin pergunungan yang begitu lembut menyapa wajah bagai mengucapkan selamat datang. Suara aliran air sungai Cipicung-pun seakan ingin memulai cerita bahwa ia juga tahu siapa sosok yang akan kami ziarahi dua tahun silam. Gunung Puyuh adalah alam yang masih begitu asri, untuk mencapainya memerlukan waktu hingga 2-3 jam perjalanan dari kota Bandung. Jalan yang dilalui bukanlah seperti rute Banda Aceh menuju Sigli dengan melewati Gunung Seulawah. Jalan disana lebih sempit, dan kemacetan dari dua arahpun tak dapat dihindari. Penjual jajanan, mochi-mochi, tahu sumedang, topeng monyet, pengamen menemani sepanjang jalan. Tak bisa dibayangkan bagaimana keadaan daerah tersebut 108 tahun silam, ketika Tjoet Nja’ Dhien ku diasingkan oleh kaphee Beulanda.
            Setelah 20 meter kami melewati komplek pemakaman keluarga leluhur Sumedang, kami memutar arah kembali menuju alun-alun dan menanyakan alamat pasti kepada beberapa orang yang berada di Mesjid Agung karena pamphlet penunjuk arah ke makam Ibu Perbu atau Ibu Ratu (begitu Tjoet Nja’ Dhien dijuluki di ranah sunda) sering dirusak oleh orang yang tak dikenal, entah apa alasannya. Rumah makan khas Aceh yang tepat di pintu gerbang komplek makam bisa dijadikan tanda tiba dilokasi. Setiap ada pengunjung yang menuju ke mk dakam Ibu Perbu berdirilah berjajar para pengemis sepanjang 500 meter anak tangga, demikian ungkap Rd.Dadan juru kunci makam.
            Sumedang menjadi rumah ke dua Tjoet Nja’ Dhien setelah panglimanya Teuku Pang Laot  memberitahu Belanda letak markas beliau dengan syarat Tjoet Nja’ Dhien tidak akan dibunuh atau dibuang dari Tanoeh Rincong, itu dilakukan sebab Pang Laot iba dengan keadaan Tjoet Nja’ Dhien yang saban hari terus merasakan sakit dan juga mulai rabun. Setelah Tjoet Nja’ Dhien ditangkap pada tanggal 6 november 1905 dan diobati oleh dokter Belanda di Banda, tanpa senjata Tjoet Nja’ Dhien seakan masih berperang, semangat rakyat semakin bertambah kuat melawan penjajahan dan ini dianggap berbahaya oleh Belanda sehingga merekapun dengan mudah mengingkari janji yang telah disepakati dengan Pang Laot.
            11 desember 1906 Tjoet Nja’ Dhien diasingkan ke Sumedang. Belanda memerintahkan Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriatmaja untuk mengurung Tjoet Nja’ Dhien di penjara, namun beliau tidak mentaati perintah tersebut dan menyerahkan Tjoet Nja’ Dhien untuk dirawat di rumah H. Sanusi seorang ulama mesjid Agung Sumedang, namun karena rumah beliau sedang dalam perbaikan Tjoet Nja’ Dhien dititipkan 2-3 minggu di rumah H. Ilyas, lalu kembali tinggal di rumah H. Sanusi hingga meninggal dunia.
            H. Sanusi hanya satu tahun merawat Tjoet Nja’ Dhien karena beliau terlebih dahulu meninggal dunia, lalu anak beliau H. Husna melanjutkan tugas ayahnya. Selama di Sumedang, Ibu Ratu memberi pengajian kepada warga khususnya ibu-ibu. Siti Hodijah anak H. Husna adalah penerjemah ketika Tjoet Nja’ Dhien mengajar karena beliau menggunakan Bahasa Arab dan selama disana Ibu Ratu hanya berkomunikasi dengan Siti Hodijah, H. Husna dan K.H Sanusi dengan menggunakan Bahasa Arab saja, demikian kisah tersebut terus diulang oleh Rd.Dadan setiap ada pengunjung yang datang berziarah.
            Segala keperluan Tjoet Nja’ Dhien disana hingga beliau wafat pada tanggal 6 november 1908 begitu diperhatikan oleh pangeran Aria Suriatmaja karena Tjoet Nja’ Dhien  tidak pernah mau menerima segala pemberian Belanda. Tjoet Nja’ Dhien dimakamkan dilokasi pemakaman keluarga H. Husna di Gunung Puyuh, Ds. Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Setiap pagi tercium aroma wewangian dari arah makam Ibu Ratu, akui seorang anak kecil yang kami temui di sebuah kios di kaki bukit.  
            Tjoet Nja’ Dhien binti Teuku Nanta Setia adalah pahlawan wanita dari Aceh Barat yang lahir pada tahun 1848. Suami pertama beliau bernama Teuku Ibrahim bin Teuku Abas Ujong Aron dan dikarunia seorang anak perempuan bernama Cut Gambang yang menikah dengan Teuku Mayet Ditiro, keduanya gugur ditembak oleh Belanda secara Bersamaan. Tjoet Nja’ Dhien menikah lagi dengan panglima perangnya Teuku Umar Johan Pahlawan yang kemudian gugur pada tanggak 11 februari 1899 di Ujong Kala Meulaboh.
            Rumah tempat Tjoet Nja’ Dhien dirawat berukuran 12x14 meter, tinggi 1 meter, kamar tidur beliau berukuran 2x2 meter, dan ranjang besinya berukuran 2x2 meter yang telah dipugar tahun 1979 tepat di belakang Mesjid Agung Sumedang. Pada tahun 1972, makam Tjoet Nja’ Dhien direnovasi oleh Pemerintah daerah Sumedang dan kembali direnovasi oleh Menteri Bulog bapak Bustanul Arifin bersamaan dengan didirikan Meunasah yang diresmikan oleh Gubernur Aceh bapak Ibrahim Hasan pada tahun 1987. Lalu pada tahun 2008, KAMAS (Keluarga Masyarakat Aceh Sumedang) bekerjasama dengan pemerintah daerah Sumedang merenovasi jalan ke makam dan sarana umum lainnya.
            Ibu Ratu, begitulah nama beliau disebut dengan bangga di tanah itu. Seorang wanita anggun, beragama, cerdas, dan berpengetahuan luas tidak pernah berhenti berjuang hingga tutup usia. Ketika beliau diasingkan dari tanah tercintanya, tak mungkin lagi menghujam rencong ke arah penjajah, dan tak bisa lagi berbagi strategi membebaskan Nanggroe dari cengkraman penjajahan, namun beliau tetap berjuang dengan cara yang berbeda berbagi ilmu membebaskan rakyat yang dicintainya dari cengkraman kebodohan.  Tjoet Nja’ Dhien ku, Ibu Ratu di Ranah Sunda.